Barang kali, Edelweiss itu hanya sebagian saja dari seluruh cerita, karena semuanya tetap janggal jika hanya diwakili A, B, C, hingga Z..
Malam itu...
Tangan ini masih dingin, kaku, dan tersasa sedikit sakit. Bahkan untuk
menggenggam parang pun terasa sulit sekali, sepertinya tanganku terlalu kecil
untuk gagang parang yang sebenarnya hanya berbentuk tabung berdiameter kurang
lebih enam senti.
Sial…! Ini sudah di ketinggan lebih dari satu setengah kilo dan tenda doom itu belum segera berdiri. Angin
terlalu kencang, dan senter kami terlalu minim cahaya. Dasar amatir! Diriku
juga. Lima lelaki ini sama sekali tak berdaya mendirikan tenda. Kami hanya bisa
bergerak sekuat tenaga untuk meraih peralatan yang kami bawa. Sialnya, banyak pasak yang hilang, sehingga kami harus
menggantinya dengan kayu. Aku menebas-nebas kayu sebisanya, dan beberapa pasak pun jadi sekedarnya. Itu mirip
kayu lecet-lecet yang terpaksa kusebut sebagai pasak. Apa sih yang bisa dikerjakan oleh tangan yang tiap hari cuma
menyenggol bolpen dan keyboard
komputer?
Untunglah ada dua orang keluar dari tendanya dan bergegas membantu kami.
Mungkin mereka merasa iba setelah mendengar suara ketukan akibat rahangku yang
saling mengetuk dan semakin lama semaki keras. Hanya terima kasih yang bisa
kami berikan, soalnya mau ngasih apa juga ndak tau.
Tiga puluh menit setelahnya, dua tenda kami sudah berdiri. Lega melihat
dua kubah itu nanti bisa mejadi tempat kami menghindar dari terpaan angin yang
semakin pagi semakin kencang. Berita bagus lainnya datang, Di depan tenda sudah
tersaji mie rebus yang memenuhi nesting
bekas perkap TNI AD itu. Mie itu hasil karya tiga perempuan yang bersama-sama
dengan kami mencapai Pos IV Merbabu. Tepat jam dua dini hari kami mie rebus
sudah masuk ke perut kami. Itu berarti satu jam sejak kami sampai di pos ini.
Badanku sudah beralih temperatur sejak mie rebus yang mengangkut panas
mengalir melewati setiap inchi usus di tubuhku. Sleeping bag dibuka dan saatnya merebahkan tubuh setelah lamanya
perjalanan kami menuju ladang sabana di merbabu ini. Tak lama setelah itu aku
sudah tak bisa merasakan kesadaran dan…. Tiba-tiba angin kencang yang menerpa
tenda kami.
Kulihat arlojiku, jam setengah enam. Sudah cukup lama kami beristirahat.
Entah terlambat atau tidak, aku tersadar kalau sudah ada sinar di luar sana.
Dari dalam Tenda bisa terlihat kalau langit-langit kubahnya tidak segelap waktu
sebelum tidur. Aku terperanjat dari bekaman sleeping
bag dan berusaha keluar dari tenda. Ada rasa gelisah, seperti akan
ditinggal pergi, kecewa karena melewatkan, pesimis akan menemuinya, dan
ternyata…
Masih ada sisa sunrise. Leganya
bukan main. Begitu cahaya matahari langsung itu masuk ke retinaku, perlahan
otot bibirku menunjukkan wajah senyum versi manusia ganteng. Sekitar satu menit
aku menikmatinya, dan itu cukup dulu. Tidak afdol jika aku hanya menikmatinya
seorang diri.
Di tenda sebelah, perempuan-perempuan itu belum menunjukkan batang
hidungnya. Ku panggil-panggil mereka dari luar. Ada satu jawaban dan kurasa itu
terdengar hanya setengah nyawa yang menjawabnya. Tapi ya sudahlah, aku tidak
tega mengganggu istirahatnya. Tracking malam
membuat tubuh kami benar-benar menggigil. Satu dari perempuan itu bahkan sempat
teler menghadapinya.
Aku lalu beranjak ke tenda tempat ku menginap semalam, ternyata sudah ada
yang terbangun. Lalu mereka bangun dan membawa kedua matanya melihat betapa
indahnya langit pagi di ladang sabana ini. Jeprat-jepret kamera menghasilkan
gambar menawan yang luar biasa indahnya. Biasanya tanganku tremor dan ndak ada
gambar asyik yang bisa ku ambil, tapi kali ini beda cerita. Ada beberapa gambar
yang menarik, bahkan temen-temen bilang ini kelas fotografer walau cuma pake
kamera digital. Boleh dibilang dah, saat itu aku besar kepala mendadak.
Delapan. Jumlah orang yang berkumpul di bawah hangatnya matahari muda
pagi itu. Aku ikut di dalamnya. Ada keceriaan, kesenangan, kebahagiaan, dan
bahkan ada rasa puas, walau kami tidak memegangnya ataupun tidak mengecapnya.
Tapi kami melihat, merasakannya, dan menganggapnya sebagai salah satu hal yang
penting agar kita hidup.
Apakah cukup sampai di situ? Ini baru pos empat kawan. Masih ada tiupan
angin di atas tiga ribu meter lagi yang harus kurasakan dan masih ada puluhan
kilometer yang harus ku tempuh. Bahkan setelah kaki ini tidak lagi menginjak
tanah merbabu, kaki ini akan tetap berjalan searah mataku menatap dan serasa
hati ini menginginkan. Berjalan, melihat, merasakan, dan tersenyum. Dunia akan
tahu bahwa kita makhluk yang pandai bersyukur.
itu sudah dua tahun lalu kawan....
* kutulis lebih dari setahun lalu dan, hehe, gagal mengantarku jadi travelling writer