Ada sekitar 2 atau 3 orang yang
pernah bertanya kepadaku tentang SANERING. Aku menjawabnya sebisanya, tapi ini
aku ada cuplikan cerita yang isinya tentang itu.
Fiksi sih, tapi si pengarang
mengakui kalau bagian ceritanya yang berkaitan dengan sejarah bangsa itu
berdasarkan fakta. Di buku-buku sejarah sih ditulis tentang sanering, tapi
tulisan berikut ini cukup detail. Sekedar mengingatkan apa yang pernah terjadi
pada bangsa ini. Karena saya merasa ini jarang dibicarakan, so… saya mau berbagi
***
Zaman Belanda
cukup banyak meninggalkan souvenir seperti uang logam, gedung-gedung, lembaga-lembaga,
istilah-istilah. Sedangkan zaman kemerdekaan dimulai dengan banyak kendala.
Pernah orangtuanya bertukar pikiran dengan Nenek serta Bibi Emi ketika Karmila
masih di bangku SMP.
“Ingat Pemerintahan
Republik Indonesia Serikat dan gunting
Sjarifudin? Kepututsan PU-1 tanggal 9 Maret 1950?” Tanya Nenek pada
orangtua serta Bibi Karmila, lalu menyambung padanya. “Uang kertas dipotong
dua, Mil. Semua uang Javasche Bank dan uang NICA di atas RP 5,- harus
digunting. Kakekmu hampir bangkrut.”
“Kenapa
digunting, Oma?” tanya karmila waktu itu.
Keistimewaan
neneknya (dari pihak ibu sampai setua itu ingatannya masih tajam, bisa
mengingat semua tanggal yang penting baginya.
“Supaya
nilainya naik lagi. Itu disebut sanering,” jawab Nenek. “Yang kiri masih bisa
digunakan selama sebulan sampai 9 April jam 18.00 dengan nilai separuh. Yang
kanan dan semua deposito di bank nilainya juga jadi separuh; harus ditukar sama
obligasi negara. Janji pemerintah, obligasi itu akan dibayar dalam jangka 40
tahun, bunganya 3% per tahun.”
“Dibayar
enggak, Oma?”
“Enggak sepeser
juga!”
“Simpanan
almarhum suami saya ludes semua,” keluh Bibi Emi, sepupu ibu Karmila yang saat
itu masih tinggal bersama mereka. Sekarang dia tinggal di rumah kakeknya di
Jawa. “Pamanmu kena serangan jantung fatal,” sambungnya pada Karmila. Bibi Emi
tak pernah menikah lagi. Suaminya meninggal gara-gara Sjarifudin Prawiranegara.
Mereka belum sempat punya anak.
“Kertas-kertas
obligasi itu akhirnya Cuma jadi makanan ngengat,” tukas ibu Karmila menggeleng.
“Tahun ’46 dikeluarkan
Oeang Repoeblik Indonesia yang disebut uang ORI,” Ujar ayahnya menjelaskan pada
Karmila yang tengah memegangi uang itu, koleksi mendiang kakeknya. “Karena blockade
Belanda, uang itu enggak bisa disalurkan dari pusat. Jadi Jawa nyetak sendiri,
Sumatra kayak aceh dan Jambi juga nyetak masing-masing. Nilainya berbeda. Buat
di Jawa, kursnya 1:50 satu rupiah ORI sama dengan 50 sen duit jepang. Sedangkan
di luar jawa satu banding 100.”
“Siapa tahu
itu merupakan pertanda negara kita enggak pernah bisa makmur,” ujar Nenek
menarik napas seraya menumbuk sirih dalam lumping kayu yang sudah kemerahan
kena sirih, gambir, kapur, dan pinang. “Bukti ekonomi selalu payah. Tanggal 25
Agustus tahun ’59 terjadi sanering lagi, Mil. Gajah sama Macan dikebiri sampai
tinggal 10%. Gajah itu adalah Rp 1.000,-; Macan Rp 500,-. Dan semua deposito
bank di atas Rp 25.000,- jadi beku. Simpanan kakekmu hilang tiga ratus ribu.”
“Sejak itu
kakekmu enggak pernah bangkit lagi
usahanya.” Bibi Emi menjelaskan pada Karmila. “Lantas 13 Desember ’65, uang
seribu rupiah uang lama harus ditukar sama serupiah uang baru.. Waduh, rugi
berapa kita semua! Kakekmu terpaksa gulung tikar dan enggak lama kemudian kena
serangan jantung, tahun depannya meninggal!”
“Yah, sudah
ganti pemerintahan berapa kali? Kok bukannya tambah makmur, tapi rakyat semakin
nelangsa? Kenapa negara kita jadi miskin begini?” Keluh Ibu Karmila dengan mata
melamun.
“Ah, Alia!”
protes Bibi Emi pada Ibunya, “Itu kan lantaran para pejabat korupsi semua!
Negara sih kaya, Cuma rakyatnya cepat miskin.”
***
Dulu saya pikir yang dipotong cuma
nilainya aja, ternyata “fisik”-nya juga dipotong. Hehe. Kalau di tahun 2015 hanya
rupiah naik turun segitu doang aja udah banyak bikin orang menjerit, bayangan
saya di tahun “50an itu rakyat Indonesia sudah rindu kiamat saja.
Ambil positifnya aja, dengan penderitaan segitu aja Indonesia sudah bertahan dan berkembang hingga sekarang. Esok hari rupiah bisa naik dan bisa turun, tapi maju mundurnya Indonesia bergantung pada rakyatnya.
Ambil positifnya aja, dengan penderitaan segitu aja Indonesia sudah bertahan dan berkembang hingga sekarang. Esok hari rupiah bisa naik dan bisa turun, tapi maju mundurnya Indonesia bergantung pada rakyatnya.
Ayo cintai Rupiah, jangan sampai
digunting lagi!!
(Penggalan Fiksi di atas dari “Sekuntum
Nozomi : Buku Ketiga” karya Marga T)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar