Senin, 06 April 2015

Apa sih Sanering itu?


Ada sekitar 2 atau 3 orang yang pernah bertanya kepadaku tentang SANERING. Aku menjawabnya sebisanya, tapi ini aku ada cuplikan cerita yang isinya tentang itu.
Fiksi sih, tapi si pengarang mengakui kalau bagian ceritanya yang berkaitan dengan sejarah bangsa itu berdasarkan fakta. Di buku-buku sejarah sih ditulis tentang sanering, tapi tulisan berikut ini cukup detail. Sekedar mengingatkan apa yang pernah terjadi pada bangsa ini. Karena saya merasa ini jarang dibicarakan, so… saya mau berbagi
***
Zaman Belanda cukup banyak meninggalkan souvenir seperti uang logam, gedung-gedung, lembaga-lembaga, istilah-istilah. Sedangkan zaman kemerdekaan dimulai dengan banyak kendala. Pernah orangtuanya bertukar pikiran dengan Nenek serta Bibi Emi ketika Karmila masih di bangku SMP.
“Ingat Pemerintahan Republik Indonesia Serikat dan gunting Sjarifudin? Kepututsan PU-1 tanggal 9 Maret 1950?” Tanya Nenek pada orangtua serta Bibi Karmila, lalu menyambung padanya. “Uang kertas dipotong dua, Mil. Semua uang Javasche Bank dan uang NICA di atas RP 5,- harus digunting. Kakekmu hampir bangkrut.”
“Kenapa digunting, Oma?” tanya karmila waktu itu.
Keistimewaan neneknya (dari pihak ibu sampai setua itu ingatannya masih tajam, bisa mengingat semua tanggal yang penting baginya.
“Supaya nilainya naik lagi. Itu disebut sanering,” jawab Nenek. “Yang kiri masih bisa digunakan selama sebulan sampai 9 April jam 18.00 dengan nilai separuh. Yang kanan dan semua deposito di bank nilainya juga jadi separuh; harus ditukar sama obligasi negara. Janji pemerintah, obligasi itu akan dibayar dalam jangka 40 tahun, bunganya 3% per tahun.”
“Dibayar enggak, Oma?”
“Enggak sepeser juga!”
“Simpanan almarhum suami saya ludes semua,” keluh Bibi Emi, sepupu ibu Karmila yang saat itu masih tinggal bersama mereka. Sekarang dia tinggal di rumah kakeknya di Jawa. “Pamanmu kena serangan jantung fatal,” sambungnya pada Karmila. Bibi Emi tak pernah menikah lagi. Suaminya meninggal gara-gara Sjarifudin Prawiranegara. Mereka belum sempat punya anak.
“Kertas-kertas obligasi itu akhirnya Cuma jadi makanan ngengat,” tukas ibu Karmila menggeleng.
“Tahun ’46 dikeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia yang disebut uang ORI,” Ujar ayahnya menjelaskan pada Karmila yang tengah memegangi uang itu, koleksi mendiang kakeknya. “Karena blockade Belanda, uang itu enggak bisa disalurkan dari pusat. Jadi Jawa nyetak sendiri, Sumatra kayak aceh dan Jambi juga nyetak masing-masing. Nilainya berbeda. Buat di Jawa, kursnya 1:50 satu rupiah ORI sama dengan 50 sen duit jepang. Sedangkan di luar jawa satu banding 100.”
“Siapa tahu itu merupakan pertanda negara kita enggak pernah bisa makmur,” ujar Nenek menarik napas seraya menumbuk sirih dalam lumping kayu yang sudah kemerahan kena sirih, gambir, kapur, dan pinang. “Bukti ekonomi selalu payah. Tanggal 25 Agustus tahun ’59 terjadi sanering lagi, Mil. Gajah sama Macan dikebiri sampai tinggal 10%. Gajah itu adalah Rp 1.000,-; Macan Rp 500,-. Dan semua deposito bank di atas Rp 25.000,- jadi beku. Simpanan kakekmu hilang tiga ratus ribu.”
“Sejak itu kakekmu  enggak pernah bangkit lagi usahanya.” Bibi Emi menjelaskan pada Karmila. “Lantas 13 Desember ’65, uang seribu rupiah uang lama harus ditukar sama serupiah uang baru.. Waduh, rugi berapa kita semua! Kakekmu terpaksa gulung tikar dan enggak lama kemudian kena serangan jantung, tahun depannya meninggal!”
“Yah, sudah ganti pemerintahan berapa kali? Kok bukannya tambah makmur, tapi rakyat semakin nelangsa? Kenapa negara kita jadi miskin begini?” Keluh Ibu Karmila dengan mata melamun.
“Ah, Alia!” protes Bibi Emi pada Ibunya, “Itu kan lantaran para pejabat korupsi semua! Negara sih kaya, Cuma rakyatnya cepat miskin.”
***
Dulu saya pikir yang dipotong cuma nilainya aja, ternyata “fisik”-nya juga dipotong. Hehe. Kalau di tahun 2015 hanya rupiah naik turun segitu doang aja udah banyak bikin orang menjerit, bayangan saya di tahun “50an itu rakyat Indonesia sudah rindu kiamat saja.
Ambil positifnya aja, dengan penderitaan segitu aja Indonesia sudah bertahan dan berkembang hingga sekarang. Esok hari rupiah bisa naik dan bisa turun, tapi maju mundurnya Indonesia bergantung pada rakyatnya.
Ayo cintai Rupiah, jangan sampai digunting lagi!!

(Penggalan Fiksi di atas dari “Sekuntum Nozomi : Buku Ketiga” karya Marga T)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar